Sunday, February 5, 2012

Sedikit Esai tentang Indonesiaku

Ni ada esai yang saya buat kilat saja.. daripada nganggur di laptop mending dipublish aja..

Negeri Spontan

Kekalahan yang dramatis minggu lalu di pertandingan final Sea Games 2011 di cabang sepakbola masih menyisakan pendam kekecewaan di hati masyarakat. Walaupun sudah menjadi juara umum di kejuaraan Sea Games tahun ini masyarakat lebih cepat mengingat aksi Titus Bonai cs dibanding dengan pemborongan medali emas dari cabang karate dan atletik oleh atlit-atlit kita. Sepakbola yang hanya memperbutkan satu medali emas lebih diharapkan masyarakat untuk mendapatkannya daripada puluhan medali dari cabang lain. Bisa dibilang hal ini diskriminasi antar olahraga tapi ekspektasi masyarakat tidaklah berlebihan karena cabang olahraga ini sudah menjadi sorotan publik dan memang olahraga ini lebih akrab di mata masyarakat kita karena sudah banyak pertandingan disiarkan di media televisi walaupun masih banyak kekisruhan akhir-akhir ini akibat sistem pengorganisasian yang kacau balau.
Dari pertandingan sepakbola final sea games kemarin yang dapat kita cermati yaitu ketika euforia penonton sungguh besar. Dibandingkan dengan partai-partai awal yang sedikit lambat laun antusias penonton semakin besar seiring dengan kemenangan demi kemenangan yang diraih. Hal ini sangat bertolak belakang ketika timnas senior kita bertanding di ajang pra piala dunia pada saat yang sama. Ketika mengetahui kesempatan lolos semakin menipis penonton seolah-olah tidak mau tahu akan nasib timnas senior. Seakan-akan dukungan pupus seiring kekalahan demi kekalahan yang dialami timnas senior. Miris. Mental penonton yang seperti itu menunjukan jika bangsa ini hanya mental pengikut yang menang.
Hal ini dipertambah ketika atasan-atasan di dunia olahraga maupun politik lebih mementingkan menonton pertandingan lain yang dirasa peluang kemenangan lebih besar. Tengok ketika Andi Malaranggeng lebih memilih menonton final bulu tangkis daripada mendukung tim olahraga lain yang lebih butuh dukungan moral. Ketika ada tim yang mau juara langsung berbondong-bondong untuk menyaksikannya. Politik Pencitraan sebutannya di era sekarang ini.
Seorang relasi saya pernah mengutarakan pendapat menarik, “Negeri ini sangat pintar membangun sebuah proyek dengan fondasi yang kokoh tapi sangatlah bodoh untuk merawatnya”.
Kejadian ini dapat kita lihat ketika jembatan di kalimantan yang roboh, alih-alih ingin menyamakan diri dengan jembatan Golden Gate di Amerika nyatanya malah roboh hanya dalam waktu yang cukup singkat 10 tahun daripada estimasinya 20 tahun lebih.
Lebih ekstrim lagi ketika kita mendengar jembatan suramadu yang baru diresmikan sebulan kemudian baut-bautnya dicuri oleh sekelompok orang. Detektor tsunami, gempa bumi, gunung vulkanik yang dipasang di titik-titik rawan berhasil ‘dipreteli’ hingga tak tersisa. Masih banyak contoh lain yang dapat kita temukan tentang hal ini.
Ketika suatu pembangunan dibangun sedemikian rupa kita takjub akan gagasan tersebut dan mengaplaus jika bangunan itu sudah jadi sedemikian rupa tapi oleh karena tuntutan jaman yang lebih ke arah ekonomis fondasi itu kita gerus sehingga lupa akan tujuan awal suatu pembangunan.
Pembangunan taman-taman kota atau yang dibangun sebagai paru-paru kota kian hari semakin susah ditemui. Justru pembangunan yang berujung keuntungan ekonomis lebih diutamakan. Pembangunan kawasan pertokoan dan perumahan berkedok pembangunan masyarakat lebih mudah kita temukan. Memang hal ini merupakan investasi yang layak kita kedepankan meninjau kenaikan ekonomi akan tetapi apakah benar hal itu cocok akan situasi kondisi tempat dan waktu sekarang? Bukankah lebih baik jika itu lebih ditinjau ulang maksud akan bangunan tersebut. Apakah masih kurang pemukiman dan pertokoan yang berjubel jumlahnya?
Alangkah baiknya jika investasi itu dialihkan ke tempat yang mungkin lebih butuh pembangunan di daerah-daerah yang butuh investasi. Pulau Jawa yang luasnya paling kecil dibanding pulau-pulau besar lain sudah tertumpuk jutaan manusia disana. Pemerintah seharusnya lebih meyakinkan investor tersebut untuk berani menginvestasikan modalnya ke daerah lain seperti Kalimantan atau Sulawesi.
Untuk hal itu perlu diimbangi dengan sarana dan prasana untuk menunjang hal itu. Misalnya untuk urusan transportasi. Akses ke daerah itu harus dipermudah dengan dibangunnya jalur kesana serta perbaikan jalur yang ada. Di era Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto sudah banyak fondasi-fondasi yang dibangun untuk pembangunan itu. Misalnya ketika jaman Soekarno pemikirannya akan datangnya masa depan di mana Jakarta akan penuh sesak dengan manusia terbukti benar sehingga beliau mencoba untuk membangun kota Merdeka di Kalimantan Tengah sebagai ibukota baru sehingga pemerintahan dapat juga berjalan di tanah Kalimantan tidak hanya di Jawa. Hal tersebut bukan tanpa pertimbangan sudah ada pengkajian khusus dari Presiden pertama kita ini akan hal tersebut.
        Hal yang menarik dengan masyarakat Indonesia adalah reaksi spontanitas. Baru-baru ini ajakan untuk mendukung mendukung komodo lewat sms/website sebagai keajabian dunia baru yang digagas oleh new7wonders membuat animo masyarakat membuncah. Ramailah iklan-iklan baik dari media cetak maupun elektronik untuk mendukung komodo. Hingga menjadikan maskot Sea Games juga komodo. Modo Modi.
Baiknya kita tahu jika komodo lebih terkenal luas di luar negeri daripada di dalam negeri dilihat dari konservasi penjagaan komodo yang lebih melibatkan pihak/lembaga asing dibanding dari negeri sendiri serta 90% pengunjung pulau komodo berasal dari asing. Menunjukan bahwa dari pihak negara sendiri yang kurang mengenalkan dan menjaga kelestarian komodo itu sendiri.
       Spontanitas perlu. Sikap reaktif itu juga penting. Tapi perlu diimbangi dengan respon positif setiap saat. Tidak hanya ketika awal atau ketika suatu hal baik terjadi. Hal yang stagnan dan kurang perlu diberikan suntikan motivasi untuk bangkit dan menanjak.
Satu singkatan yang menarik yang bisa dijadikan alternatif untuk mengatasi problematik ini yaitu “Berdikari”, beridiri diatas kaki sendiri. Kalimat yang berasal dari Soekarno ini dapat diartikan jika harus ada semangat di hati kita untuk mau bangkit sendiri tanpa bantuan orang lain. Mentalitas kita harus diubah menjadi mentalitas yang percaya diri akan kemampuan diri sendiri tanpa bantuan pihak lain. Bantuan perlu jika keadaan benar-benar mendesak.
       Contohnya , Spontanitas positif masyarakat ketika bencana alam patut direspek dengan positif yang menunjukan kita bisa bangkit sendiri dari keterpurukan. Di ajang Sea Games juga terlihat, carut marut ajang ini dibalas dengan puluhan medali emas yang diraih.
         Hendaknya juga pemerintah lebih sering berpikir dan bertindak preventif dan antisipatif akan berbagai masalah. Bukannya jika ada masalah langsung buru-buru mengambil tindakan represif tanpa melihat sisi lain. Begitu ada prediksi Jakarta banjir siap siagalah Pemerintah untuk mengantisipasi lewat penambahan satuan aparat dari tim SAR. Itu bukan antisipatif. Melainkan langsung bertindak menuju kesimpulan. Seharusnya pemerintah berpikir untuk mencegah hal banjir itu lewat membangun daerah resapan air, pembersihan kali/sungai dan mengajak masyarakat membersihkan selokan.
        Di bidang olahraga atlet-atlet harus dibina dalam jangka panjang dan dibuat lebih banyak kompetisi dalam negeri yang kompetitif dari berbagai macam cabang olahraga tidak hanya sepakbola atau bulu tangkis saja.
        Mentalitas pencitraan juga harus segera dihilangkan dari pemikiran tokoh-tokoh politik agar masyarakat tidak terjerumus akan tipu daya dan kemunafikan pemerintah.
Rubah pula sikap lempar tanggung jawab. Jika merasa diri bersalah segera berkata salah dan jika merasa diri benar berkatalah benar. Setelah merasa salah langsung meminta maaf kemudian perbaiki kesalahan tersebut. Simpel tetapi sangat sulit dilakukan oleh segelintir orang di negeri ini.
Akhir kata saya ingin mengutip sebuah kata inspiratif dari Soe Hok Gie “Bagi saya KEBENARAN biarpun bagaimana sakitnya lebih baik daripada kemunafikan. Dan kita tak usah merasa malu dengan kekurangan-kekurangan kita”.
Eldo Christoffel Rafael

No comments:

Post a Comment